Waktu membuatku melayang jauh memutar memori pada tahun dimana aku selalu tersenyum dalam sakit, tahun dimana aku selalu mencoba untuk mendorong angan dan mimpiku untuk mencapainya.
Waktu membawaku melihat tahun dimana aku merasakan dan selalu menangis. Hanya menangis dalam diri, memperlihatkan air mata bening ini pada sang khalik.
Pikiran buruk membuatku terkadang menyalahkan sang khalik dan bertanya mengapa aku tak dapat meraih apa yang ingin ku capai?
Butuh beberapa tahun hati ini meringis, mata ini menunjukkan kesedihan, juga kebohongan bibir ini yang selalu tersenyum juga mulut yang selalu berkata aku baik-baik saja.
Di tahun ke dua aku memposisikan diriku sebagai seseorang yang hanya menghukum orang lain karena mereka melanggar peraturan yang berlaku. Dan aku hanya dapat melihat dari balik kaca besar hitam, menghela nafas, mencoba tersenyum dan berlalu pergi meninggalkan ruangan yang sangat ingin ku pijak.
Di tahun ke lima aku kembali menekuk wajahku dan menyelimutinya dengan kebahagiaan ketika aku mendapatkan tugas yang lagi-lagi membuatku harus rela melepas apa yang ku impikan selama beberapa tahun belakangan ini.
Pupus sudah harapan dimana aku selalu berpikir bahwa aku memang tak pernah bisa menggapainya, kemarahan yang selalu membuat gigiku menggelutuk juga kepalan tangan yang menandakan bahwa aku cukup berusaha untuk menahan gejolak yang sudah tertimbun cukup lama.
Lagi-lagi aku diharuskan berpikir mengapa Allah tidak pernah mendengar bisikan hati hambanya? Apa Allah membenciku hingga ia enggan untuk mengabulkannya? Mengapa orang lain dapat meraih apa yang ku impikan tapi aku tidak?
Teriakan hati membuat otakku turut merancang tugas-tugas perasaan yang seharusnya menjalankannya dengan senang hati, tapi perasaan ini mengamuk dan melalaikan apa yang seharusnya kukerjakan.
Hingga aku tak lagi menginjakkan kakiku di tempat kenangan ini. Dan tempat, juga tahun dimana aku tak dapat meraih apa yang sudah menjadi mimpiku selama ini. Sempat terpikir olehku untuk mengubur dan menimbun impian yang sudah menjadi sahabat dalam hati juga tekad.
Aku membalikkan badan dan menangis dalam diam untuk melupakan apa yang terjadi denganku juga impianku yang sangat sulit untuk digenggam.
Kali ini, waktu membawaku mengenang tahun dimana aku menggali kembali impianku ke permukaan. Senyuman palsu itu kini telah hilang. Hanya ada senyuman bahagia juga kepalan tangan yang sudah terbuka menandakan bahwa kemarahan itu sudah pergi entah kemana.
Jeritan hati ini berbanding terbalik menjadi seruan hati yang menyenangkan. Jika di tahun kelam itu aku selalu menyalahkan penciptaku, tapi di tahun ini, aku memimta maaf pada-Nya. Allah hanya menyuruhku untuk menunggu dengan sabar, maka di ujung bebatuan sanalah aku dapat melihat cahaya yang menyiratkan sinar panjangnya.
Waktu membuatku bersedih di masa lalu, dan tersenyum di masa kini. Impianku untuk berada dalam satu ruangan dengan mic juga earphone yang dapat menghubungkanku dengan pendengar yang dapat mendengar suaraku. Ya, aku memimpikan itu semua dari tahun yang entah kapan muncul begitu saja.
Dan kali ini, waktu membawaku ke dunia dimana aku dapat merasakan sebagai seseorang yang beruntung karena telah sabar untuk menunggu itu semua. Waktu mengajarkanku sebuah penantian yang membutuhkan kesabaran. Waktu memberiku kesempatan untuk merenungi apa yang telah terjadi selama ini, apa yang telah kulakukan, dan mengapa Allah menunda itu semua untuk saat ini?
Dan semua jawaban ada dalam diriku sendiri. Yang telah terjadi selama ini adalah hanya kemarahan dan emosi juga ambisi untuk sebuah mimpi, yang telah kulakukan adalah melalaikan pekerjaan yang sudah menjadi amanah untukku juga kemarahanku terhadap sang khalik, dan jawaban terakhir adalah, karena Allah ingin aku belajar untuk bersabar, karena Allah bukan tidak mendengar do'aku melainkan memeluk do'aku dan menjaganya baik-baik setelah yakin untuk merentangkan mimpi itu untukku.
Hanya waktu.
* * *
* * *
Gadis berjilbab biru itu menghela nafas lega, menutup buku yang telah ia goreskan kenangan tentang waktu di sana. Iris hitamnya tertutup merasakan deru nafas sang angin laut yang mulai menerpa wajah putih nan cantik miliknya. Juga suara ombak yang membuat hatinya kembali tenang. Terakhir, buih laut yang muncul dan menghilang dengan perlahan. Bagai waktu yang menyuguhkan pertemuan dan kehilangan, begitupun sedih dan senang.
Ia membuka matanya dan meninggalkan angin, ombak, dan buih secara bersamaan. Tak terkecuali dengan pasir putih yang kini ia pijak. Yang akan menghilang ketika sampai batas waktunya ia harus menapaki jalan meninggalkan pasir. Dengan buku bersampul putih bertuliskan "Time to Dream" yang akan selalu ia bawa di tangan kanannya.
0 komentar:
Posting Komentar