Pasti ada hari di mana kita menuliskan sebuah kejadian dalam buku kecil. Pasti ada hari di mana buku itu pernah dibaca oleh orang lain. Pasti ada hari di mana kita akan merasa malu jika membaca buku itu ketika kita dewasa nanti. Buku yang dinamakan sebagai diary.
Kata-kata sakral yang akan selalu kita bagi ke dalam buku tersebut. Aneh memang, jika kita tidak memiliki sebuah buku bernama diary. Hampir semua anak Sekolah Dasar zaman dulu, memiliki buku rahasia itu. Entah buku kecil itu digembok, dibiarkan terbuka, atau memang sengaja diperlihatkan pada orang-orang yag kita sebut sebagai sahabat, dulu.
Pernah suatu hari, ada anak kelas 6 SD menulis hari-harinya di buku kecil biru yang ia miliki. Itu terjadi begitu saja. Awalnya ia berharap bahwa anak laki-laki yang disukainya memang benar-benar melihatnya. Karena dirinya yang tak bisa mengungkapkan apa yang dirasa.
Akhirnya ia memutuskan untuk menulis dalam sebuah buku kecil yang ia sebut sebagai diary, tempat curhatnya. Klasik. Tapi itu yang ia alami dulu. Kampungan. Tapi memang itulah cara satu-satunya ia menuangkan isi hatinya. Alay. Tapi dengan cara seperti itu, ia dapat membaca dan membuka kembali lembar lama mengenai isi hatinya.
Saat itu, buku diary sangat tenar di kalangan anak sekolah dasar. Termasuk sekolahnya. Kerap kali temannya membaca buku diary miliknya tanpa izin. Bahkan orang tua dan adiknya pun pernah membaca tulisan sakral dalam buku kecilnya. Sejak kejadian baca-membaca tanpa izin itu, dirinya menutup buku tersebut untuk selamanya. Ia menaruh buku kecil itu di dalam laci belajarnya.
8 tahun kemudian, laci itu terbuka kembali. Buku kecil bernama diary itu pun turut mengulang kembali cerita cinta abstraknya. Lucu. Sangat lucu. Tapi seperti itula dirinya. Kalian ingin mengecam bahwa dirinya alay? Kampungan? Cupu? Itu terserah. Satu yang pasti. Kenangan itu tak akan pernah hilang. Karena ia menulis semua kejadian dalam buku keramat bernama diary. Mengenang masa lalu itu, menyenangkan.
0 komentar:
Posting Komentar