Seorang wanita masih bersujud setelah selesai melaksanakan sholat subuhnya. Pundaknya bergetar, isak tangis semakin terdengar. Alunan doa yang akan ia sampaikan begitu berat untuk diungkapkan. Bibirnya kelu tak tertahankan.
Pikirannya melayang jauh mengingat betapa rapuh dan busuknya dia.
Malam ini, Bandung terasa lebih dingin dari biasanya. Namun tak dihiraukannya dingin tersebut yang menusuk seluruh tubuhnya. Pakaian ketat tanpa lengan berwarna merah, rok mini berwarna hitam, rambut yang sengaja ia gerai, sepatu hak tinggi yang sudah ia tenteng dengan malas. Terakhir, matanya yang sayu juga bibirnya yang semakin luntur ke bawah. Ia tidak ingin jadi wanita seperti ini.
Sebersit pertanyaan lewat dalam relung hatinya. Untuk apa ia dilahirkan ke dunia ini? Mengapa Tuhan melahirkan dirinya jika Tuhan menjadikannya wanita seperti ini?
Dia berjalan menyusuri jalan setapak. Banyak pria yang menatapnya dengan lapar, banyak wanita yang menatapnya dengan jijik. Entahlah, ia sedang tidak peduli dengan keadaan sekitar. Kakinya terus saja berjalan menyongsong jalanan ramai. Klakson laki-laki mesum mulai terdengar di telinganya. Toh ia tidak peduli. Tujuannya hanya satu, jika ia berhenti di tempat itu, maka ia akan menjadi apa yang Tuhan inginkan.
Di sana, tak jauh dari tempat ia berdiri, kubah berwarna emas terlihat sangat besar, tiang bangunan juga terlihat tinggi nan tajam, putihnya bangunan pun menentramkan pikiran. Setelah itu, terdengarlah suara merdu seorang muadzin di dalam sana.
Wanita tersebut melihat ponselnya. Sudah pukul 04.30 WIB. Ah, adzan subuh terdengar sangat merdu. Dia berjalan lurus menaiki tangga bangunan megah itu. Hatinya tergerak untuk menyentuhnya, merabanya, melihatnya, dan bersimpuh pada sesuatu yang ia yakini sebagai Tuhannya. Dan bangunan itu, yang ia tahu bernama masjid.
Tak ia pedulikan tatapan aneh dan mengejek dari orang-orang sekitar masjid. Pria berpeci yang menjaga sandal hanya tersenyum melihat wanita itu masuk ke dalam masjid setelah menitipkan sepatu hak tingginya.
Matanya terpaku pada tulisan besar yang ada di dalam masjid. Kalau tidak salah ingat, namanya kaligrafi, itu yang dia katakan dengan pelan. Ia melanjutkan langkahnya ke bawah masjid untuk mengambil air wudlu. Ia melirik ke kiri. Ada seorang wanita berjilbab juga yangbingin berwudlu. Setiap gerakan ia perhatikan dan ikuti.
Mengusap pergelangan tangan, berkumur-kumur, mengusap wajah, mengusap kedua tangan hingga sikut, mengusap rambut lalu telinga, terakhir mengusap kaki. Masing-masing tiga kali.
Sebegitu haruskah ia suci sebelum melaksanakan sholat?
Wanita itu kembali berjalan menaiki tangga lalu menuju tempat sholat khusus wanita. Banyak sekali orang di sini. Mukena, itu nama benda yang harus dipakai wanita untuk melaksanakan sholat.
"Mau pakai ini Neng?" tanya seorang ibu yang sudah memiliki kerutan di sekitar wajahnya.
"Iya."
Entah panggilan apa yang membuatnya jatuh ke dalam jalan yang ia anggap benar ini. Lagi, ia menengok ke kanan untuk melihat gerakan apa yang seharusnya ia lakukan di awal sholatnya. Takbiratul ihram, rukuk, itidal, sujud, duduk di antara dua sujud, kemudian sujud lagi, bediri. Rakaat kedua pun sama gerakannya, hanya saja diakhiri dengan salam sebagai penutup sholat. Walau ia masih melirik untuk melihat jelas bagaimana gerakannya. Walau ia masih tidak tahu apa saja bacaan yang harus ia baca dalam sholat.
"Kamu harus bisa baca quran dan tahu bacaan solat Neng. Karena itu adalah bentuk komunikasi kita dengan Allah." Ibu yang memiliki kerutan di wajahnya itu ternyata masih duduk di sampingnya.
"Apa saya- masih diperbolehkan untuk sholat?" tanya wanita itu dengan lemah dan malu.
"Tentu. Allah menerima semua taubat hambanya dengan tangan terbuka lebar."
Wanita itu bersujud lalu menangis. Mengingat dosa-dosa yang pernah ia lakukan di masa lalunya. Ia menangis sejadi-jadinya. Ah, Tuhanku bernama Allah, ujarnya lagi.
"Kuserahkan semuanya padaMu," janjinya di subuh hari. Ia berjanji, ia akan menjadi apa yang Allah inginkan. Ia bertaubat.
hehehe
BalasHapus