Aku memperhatikan gerak-geriknya. Dia tak jauh dari tempatku duduk di bangku taman dekat kampusku. Di sini hening dan tidak terlalu banyak orang yang berlalu lalang. Jadi aku bisa mendengar apa yang ia bicarakan.
Kami hanya berjarak satu bangku panjang saja. Aku di bangku kanan, dia di bangku kiri. Bangku tengah sengaja kukosongkan untuk menjaga jarak dengannya. Aku terkikik geli saat dia mengeluarkan ponselnya dan mendial nomor seseorang di sana.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengangkat panggilannya. Aku turut menaruh ponselku di telingaku. Suaranya terdengar jelas. Suara beratnya, suara lembutnya yang sedikit serak. Aku merindukannya. Sudah berapa lama aku tak bertemu dengan pria berambut sedikit keriting itu? Entahlah, yang pasti kini aku sudah menemukannya.
"Hai Sayang, bagaimana kabarmu? Maaf akhir-akhir ini aku sibuk," ujarnya dengan raut wajah menyesal.
"Tak apa. Lagi pula aku mendengar suaramu saja sudah cukup," jawabku senang. Tak bisa kusembunyikan senyumanku. Tak bisa kusembunyikan debaran hatiku.
"Ah benarkah? Lalu di mana kau sekarang?" tanyanya lagi,
"Aku? Aku selalu di sini menunggumu."
"Oh ayolah, katakan saja kau di mana. Aku akan menjemputmu."
Aku tertawa senang mendengar jawabannya. Dia begitu perhatian, itu yang ksuskai dari dirinya sejak dulu.
"Selalu ada di hatimu."
Aku terkikik pelan. Hampir saja aku tertawa karena jawaban bodohku.
Oh lihatlah dia juga tertawa. Lesung pipinya membuatku rindu. Senyuman manisnya membuat waktuku seakan berhenti. Bagimana bisa senyumnya semanis gula? Bagaimana bisa suara tawanya menjadi nyanyian merdu di telingaku?
Selama aku menjawab pertanyaannya, aku selalu menjawab dengan nada yang sedikit pelan. Tawaku juga kukecilkan agar ia tak mendengar aku ada di sini, di sampingnya.
"Hah, aku sangat merindukanmu."
"Aku juga. Aku- bahkan sangat merindukanmu."
Raut wajahku berubah sendu. Ini benar-benar ungkapan dari lubuk hatiku yang paling dalam. Ingin ku berteriak bahwa aku selalu menunggunya. Ingin ku berteriak bahwa aku selalu ada di sampingnya. Namun itu semua hanya wacana yang aku kompromikan dengan hati dan pikiranku.
"Ya aku tau. Baiklah, aku akan menjemputmu sekarang, tunggu aku di sana. 5 menit lagi aku sampai."
Kulihat dia berdiri lalu kembali memakai jas kantornya. Dia hendak melangkahkan kakinya ke kanan. Dia melihatku dengan raut wajah terkejut. Sudah kupastikan dia akan bereaksi seperti itu jika melihatku.
Aku menurunkan ponselku dari telinga. Menggenggamnya dengan erat di atas pangkuanku. Kulihat dia mendekatiku dengan senyumnya yang manis. Ingin sekali aku memeluknya dan mencium aroma mint di sekitar bajunya.
"Dila? Hei, bagaimana kabarmu?"
"Mm yeah, aku baik-baik saja. Lalu, bagaimana kabar tunanganmu?" tanyaku dengan berat hati. Aku masih ingin berbincang dengannya. Kumohon hentikanlah waktu walau sedetik.
"Dia baik. Aku baru saja menelfonnya."
Kulirik dia yang sudah melihat jam tangannya. Tidak, dia akan pergi sebentar lagi. Aku tidak ingin dia mengatakan bahwa dia harus pergi sekarang juga. Tidak.
"Dil, aku harus menjemput tunanganku di kantornya."
Aku merasakan usapan hangat di kepalaku.
"Jaga kesehatan, jaga diri baik-baik. Aku- minta maaf karena dulu aku tidak bisa menjadi kaki-laki yang kau inginkan."
Dia berjalan melewatiku setelah berbisik, semoga aku bahagia dengan pilihanku.
Aku menggenggam ponselku dengan erat. Ponselku yang sedari tadi memang tidak dihidupkan.
Pilihanku hanya satu. Pilihanku adalah, aku tidak ingin selalu berbuat bodoh karena kesalahanku yang telah meninggalkanmu. Aku berbuat bodoh dengan selalu menjawab obrolanmu dengan orang lain, seperti saat ini.
Aku berdiri, melangkah berlawanan arah dengannya. Kurasa, sudah cukup aku berbuat bodoh.
Asliiii kejebak....
BalasHapus