Dalam ruangan berbentuk persegi, lumayan luas. Aku terduduk di atas kursi empuk berwarna abu-abu dengan bantalan kursi berwarna krem sedikit putih.
Biar kudeskripsikan bagaimana ruangan ini terlihat nyaman dan terang. Di langit-langit ada sekitar empat lampu gantung berwarna putih. Ada juga lampu gantung berbentuk silang berwarna putih dan kuning di sisi lampu. Entah kau bisa membayangkannya atau tidak. Namun yang pasti, ruangan ini terasa nyaman bagiku. Oh, ada angin juga yang datang dari mesin bernama AC.
Aku menunggu pesananku, hot chocolate. Aku haus, tentu saja. Setelah perjalanan jauh, akhirnya aku sampai di tempat ini. Dia, seseorang yang kutunggu. Membayangkan dia datang dengan senyuman manisnya saja membuatku ingin sekali menarik kedua ujung bibirku. Tersenyum.
Dentingan lonceng, tanda ada pengunjung yang datang, membuat kepalaku menoleh ke kanan. Namun bukan dia. Aku menghela nafas. Sungguh kesal sekali aku menunggunya di sini. Pesananku sudah datang. Wangi hot chocolate sudah menyeruak masuk ke dalam hidungku. Hangat dan manis.
Dentingan lonceng cafe berbunyi kembali. Aku pun kembali menoleh ke arah pintu. Namun bukan dia. Sekali lagi aku menghela nafas kesal dan pasrah. Bayangkan, kupikir aku telat datang ke cafe ini. Ternyata dia pun belum datang. Terpaksa aku harus menunggunya.
Aku menyeruput hot chocolate dengan nikmat. Ah, hausku jadi hilang. Pesananku kembali datang. Selain minuman, aku memesan kopi robusta kesukaannya. Aku ingin setelah dia datang, pesanan kesukaannya sudah tersaji di atas meja. Aku tersenyum bangga. Aku lah yang paling tahu apa yang paling ia sukai dan tidak ia sukai.
Ini sudah dentingan ke lima, namun dia tak pernah ada di sana. Aku diam kembali. Memainkan ponselku. Path, instagram, facebook, twitter, semua aku buka untuk kumainkan atau sekedar melihat-lihat saja.
Dentingan keenam membuatku kembali menoleh dengan kesal. Raut wajahku berubah menjadi bahagia. Bukan, bukan dia yang datang, namun sahabatku yang datang, Dian.
"Hei Di, ngapai di sini?" tanyaku girang. Kulihat Dian tersenyum sambil melihat kopi robusta yang ada di atas mejaku.
"Apa?" tanyaku kembali. Polos.
Dian duduk di bangku depan sehingga kami berhadapan sekarang. Raut wajahnya keruh, sedih.
"Apa kau yakin dia akan datang?" Dian bertanya dengan nada sedih.
Aku mengedipkan mataku. "Dia pasti datang!" jawabku lantang.
"Sadarlah Ki, kau bahkan tau dia sudah tidak ada di sini. Di bumi!!"
Aku tersentak kaget saat mendengar teriakan Dian. Semua mata pengunjung cafe juga menatap kami dengan tatapan kesal dan kaget. Air mataku keluar dengan sendirinya. Aku tidak ingin mengingat bahwa dia sudah tidak ada. Aku tidak ingin mengingat bahwa dia tidak ada di bumi karena kesalahanku. Aku tidak ingin mengingat bahwa dia memang tidak pernah datang ke cafe ini.
"Berhenti menunggunya di sini. Dan sekarang, ayo kita pulang!"
Dian menarik tanganku dengan sedikit paksaan. Aku berdiri lalu pergi meninggalkan kopi robusta dan hot chocolate di atas meja cafe.
Aku tidak ingin melupakannya. Sungguh.
0 komentar:
Posting Komentar