Ada beberapa alasan aku selalu mengikutimu. Ada beberapa alasan aku melihatmu dalam diam. Ada beberapa alasan aku tetap menunggumu lama. Namun hanya ada satu alasan mengapa aku melakukan hal-hal bodoh seperti itu.
Kupikir aku seperti terhipnotis akan wajahmu. Kupikir aku seperti terhipnotis akan kepintaran dan kesolehanmu. Namum nyatanya aku memang sudah jatuh ke dalam, melebihi kata hipnotis.
Kau tahu, dunia terasa indah di kala detik dan menit menemaniku dalam menunggu. Mungkin bagimu aku patung yang berlumut. Tak terlihat, menjijikan.
Kuakui, rasa memang tidak pernah bisa dipaksakan. Sudah kucoba beberapa kali untuk berpaling, namun hasilnya nihil. Aku tetap memilih jalan yang lebih sulit dari itu. Kutunggu kau sendiri, namun kau selalu mendapatkan seseorang, lagi dan lagi. Sebagian hatiku meronta untuk berpaling.
"Hei bodoh! Berpalinglah jika kau masih menyayangi hatimu!"
Ya, kurang lebih seperti itu.
Aku melihat layar ponselku. Sudah kubilang bahwa aku benar-benar mengikutimu, menjadi stalker untukmu dalam waktu lama. Aku tak ingin mengubah itu semua. Cukup hanya melihatmu dalam frame, itu sudah membuat sebagian hatiku bahagia. Namun tidak untuk sebelah hatiku yang lain. Oh Tuhan, bagaimana bisa aku tetap menunggunya selama bertahun-tahun?
Hei percayalah, sebagian temanku berkata bahwa akan tiba saatnya dia melihatku, tetaplah bersabar. Namun kupikir waktu tak akan memberiku kesempatan seperti itu. Kesempatan indah yang pernah kulalui dulu bersamanya. Bukan tanpa hubungan, hanya sebatas teman. Gedung sekolah bahkan menjadi saksi pertama kami saat pertama kali kami saling mengenal satu sama lain.
Cukup indah.
"Hei bodoh, cari seseorang yang memang melihatmu!"
Lagi-lagi pikiran itu muncul. Terkadang seperti iblis, terkadang seperti malaikat. Satu kalimat namun cukup untuk memukulku. Aku memang berencana untuk mencari yang lain, namun kau tahu? Aku tak pernah bisa lepas dari nama yang memang sudah tersemat di llubuk hatiku yang paling dalam. Jika kau ingin menggalinya, maka kau akan menemukan nama itu di kedalaman beratus-ratus meter dalamnya. Jikau kau ingin melihatnya, maka kau akan menemukan cahaya namanya di sana.
Kupikir sudah waktunya nama itu redup, namun aku tak cukup yakin bagaimana aku mematikan cahaya tersebut. Sulit, sangat sulit jika membayangkan bagaimana mudahnya aku jatuh dalam pesonanya dulu, bahkan hingga saat ini.
***
"Re, udah selesai nulisnya?" tanya temanku yang sudah berdiri di hadapanku dengan membawa dua cangkir teh hangat yang langsung datang dari Jepang.
"Udah," jawabku singkat.
"Berapa kata namun untuk hari ini?" Kulihat dia memutar kedua bola katanya, malas.
"Tak terhingga."
0 komentar:
Posting Komentar