Kamis, 17 November 2016

Penggemar Masakan Mama




Aku anak perempuan asal Tangerang yang tak kenal lelah untuk menuntut ilmu di kota orang. Setelah enam tahun aku hijrah ke Tasikmalaya untuk menimba ilmu, sekarang sudah hampir empat tahun pula aku hidup di Bandung, bukan kota kelahiranku.

Aku perempuan Tangerang yang hidup di kota orang. Bahkan aku tak mengenal kotaku sendiri. Tapi bukan itu masalahnya. Selagi aku hidup merantau itu, aku rindu masakan mama.

Aku selalu bilang, “Hani mau makan, asal dimasakin mama. Masakan mama enak mulu soalnya.”

Ya, akhir-akhir ini aku selalu berbicara seperti itu pada mama. Aku yang hidup di kota orang, kini tahu bagaimana rasanya rindu akan masakan mama. Mama selalu bisa memasak apapun. Bahkan air liurku jatuh saat mama meracik indomie soto kesukannya yang ditabur beberapa sayuran, juga rasanya yang beda dengan buatanku. Kalau mama makan, aku pun turut mencicipinya.

“Rasa indomie mama beda.” Itu yang kukatakan.

Kemampuan memasak mama juga diacungi jempol di komplek rumahku. Dimulai dari masakan darat sampai masakan laut, mama bisa.

Resep baru yang mama dapat, langsung diterapkan. Masakan sesederhana apapun akan terasa nikmat jika mama yang memasaknya. Tak heran, ketika aku pulang dari Bandung, aku menjadi gendut layaknya ikan paus.

Pernah suatu hari bapak ngidam ingin makan pare yang isinya gumpalan kelapa . Aku lupa nama masakannya. Seketika itu juga, mama yang baru mendengar makanan pare itu, membuatnya dengan suka hati. Semata-mata hanya untuk bapak. Mama pasti bilang, bapak mau makan itu, bapak mau makan ini, bapak pasti suka makan itu, bapak suka makan ini. Apapun yang bapak suka, pasti akan mamah pasti akan masak dengan suka hati.

Mamah adalah segalanya dalam hal dapur. Bukan aku tidak ingin memasak, hanya saja masakan mama selalu berhasil membuat perutku lapar. Mencium aromanya saja sudah membuatku meneteskan air liur. Mama senang makanan pedas, aku pun begitu. Mama senang kalau anak-anaknya makan dengan lahap masakannya. Mama akan menaruh beberapa piring dan masakannyaa di ruang tamu, lalu makan bersama kami, anak-anaknya dan bapak untuk makan bersama.

“Teh, makan nih ntar keburu abis.”

“De, makan.”

“Ghilman, makan dulu. Dari pagi belum makan.”

“Teh, ambilin kecap buat bapak.”

“Apa rasanya? Keasinan ga? Terlalu manis ga?”

Itu beberapa kata yang selalu mamah keluarkan segiap hari.

Aku, perempuan rantauan Bandung yang pulang hanya karena rindu masakan mama.

“Hani mau ini dong mah, tapi mamah yang masak.”

“Hani mau makan itu mah, tapi mamah yang masak.”

Aku, penggemar masakan mama.




Share:

0 komentar:

Posting Komentar