Ilustrasi : Google
Kulihat sekitar rumahku, tak ada lagi seruan lantang laki-laki bersepeda. Lingkunganku tanpanya, seperti gentong kosong.
Sunyi, sepi. Tahun 2016 membuat lingkunganku berubah seketika. Kulihat anak kecil dengan santainya membawa ponsel canggih yang bahkan lebih modern dari milikku. Seberapa mudakah dia dariku? Kurasa dulu saat aku seumuran dengannya aku masih memiliki tangan yang membawa majalah anak-anak.
Telingaku sungguh kosong saat aku tak lagi melihat sosoknya. Sosok tinggi menawan yang selalu tersenyum padaku, bersuara lantang menawarkan sesuatu yang bapakku inginkan. Bukan hanya bapak, namun semua tetanggaku pun menunggu kehadirannya.
Oh Tuhan, kemana dia pergi? Aku rindu teriakannya, aku rindu suara lantangnya, aku pun rindu kertas tebal berwarna abu-abu yang ia lemparkan untuk pelanggan setianya.
Aku ingin mencari sosok itu lagi. Kukeluarkan motorku sebagai alat bantuku untuk mencarinya. Dia yang kukenal dengan nama Simatupang. Bukankah namanya mirip dengan tokoh militer di Indonesia yang sekarang menjadi nama jalan di Jakarta Selatan? Sosok Simatupang mampu mengenalkanku pada dunia berita melalui koran dan majalah yang selalu ia bawa sebagai mata pencahariannya.
"Koran ya koran!!"
Teriakan lantang membuat aku yang dulu masih berusia 7 tahun berlari keluar rumah. Saat itu Simatupang sedang beristirahat di depan rumahku dengan topi yang ia kibaskan untuk menghilangkan keringat di leher dan dahinya.
Melihat perawakannya yang tinggi dengan kulit sedikit coklat, aku mengurungkan niatku untuk menghampirinya. Namun pergerakanku terlihat olehnya.
Kulihat Simatupang tersenyum lalu mengambil satu majalah yang ada di stang sepeda miliknya.
"Mau baca majalah?"
Simatupang menyodorkan majalah itu padaku.Karena majalah itu berwarna-warni, kuambil saja tanpa banyak bicara. Kubuka lalu kulihat isinya yang banyak sekali gambar. Tak berapa lama, bapakku keluar dari rumah karena sadar bahwa aku tidak ada di rumah.
"Koran pak?" tanya Simatupang saat itu.
"Wah, lagi ada berita apa nih yang rame?" tanya bapak sambil mengambil koran dengan asal.
Aku masih ingat wajah sumringah Simatupang saat bapak mengambil dan membayar koran yang ia beli. Bukan hanya bapak, tetanggaku yang notabene bapak-bapak komplek juga keluar rumah saat melihat ada Simatupang di sana. Aku masih sibuk membaca majalahku.
Saat aku remaja, aku mulai berlangganan koran pada Simatupang, bukan lagi majalah anak-anak. Kami sempat duduk berdua di depan rumahku sambil sesekali Simatupang berteriak, 'Koran ya koran!'
Bahkan terkadang pembicaraan kami terganggu karena banyak pelanggan Simatupang yang datang untuk membeli koran. Gaya santai dengan suara berlogat Medan yang kental, Simatupang memulai ceritanya.
Gayanya yang terlihat wibawa membuatku turut memperhatikan alur ceritanya. Simatupang mulai bekerja menjadi penjual koran tahun 1987. Saat itu ia tidak berjualan di sekiatar rumahku dan bukan penjual koran keliling. Dia hanya penjual koran eceran di Cengkareng untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang waktu itu masih muda.
"Bapak itu mulai jualan koran waktu masih bujangan Mbak," ujar Simatupang memukul pelan dadanya.
Bangga. Kulihat wajah Simatupang seketika murung, juga matanya yang kian sendu.
"Tapi seiring berjalannya waktu, masyarakat di Cengkareng sana mulai sedikit yang membeli koran. Itu alasannya bapak pindah ke sini," lanjut Simatupang sambil tersenyum.
Ya, tahun 2003 Simatupang memutuskan untuk berpindah tempat demi kelangsungan hidupnya. Kucermati alur ceritanya. Ia sangat menyayangkan masyarakat yang sudah tidak lagi peduli dengan koran. Sejak Simatupang pindah jualan koran ke dekat rumahku, penghasilannya cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari keluarganya.
"Berarti koran masih laku kan pak di sini," candaku. Simatupang tertawa sambil kembali mengipas wajah dengan topinya.
Sungguh rindu aku akan sosoknya yang ceria dan mudah bergaul dengn masyarakat komplekku. Sesekali Simatupang bahkan berbicara bak seorang wartawan yang tahu segala informasi dengan tetangga-tetanggaku.
Saat aku bertanya isu apa yang sedang berkembang di Indonesia, Simatupang pasti akan menjawab dengan yakin berita terkini beserta opini-opini untuk mengkritisi berita tersebut. Aku kagum akan sosoknya.
Terpaan angin berhembus ke dasar wajahku. Motor yang kunaiki untuk mencari sosok yang kurindukan itu sudah berjalan entah berapa kilo meter. Kubelokkan motorku ke kiri, kutelusuri jalanan sempit, sampai aku menemukan jalan besar yang jarang kulewati.
Di sisi jalan sana, kulihat ada warung kecil berwarna biru. Itu dia benda yang kucari sejak tadi. Benda yang sudah tak lagi terkenal di komplekku, benda yang sudah tak lagi terlihat di komplekku, dan benda yang sudah tak lagi hadir di komplekku. Ku arahkan motorku ke warung tersebut.
"Siang pak, saya mau beli koran. Pemiliknya ke mana ya?" tanyaku pada seorang laki-laki botak yang sedang duduk di bangku samping warung koran.
"Mbak Dina ya?" tanya laki-laki botak itu.
Kunaikkan alisku karena bingung entah dari mana dia tahu namaku.
"Saya anaknya Bapak Simatupang. Pasti Mbak kenal sama beliau."
Aku terhenyak kaget saat mendengar nama sosok yang kurindukan. Penjual koran yang terkenal pada masanya. Penjual koran yang selalu dicari pada masanya.
Tanpa kata, laki-laki botak itu menyuruhku untuk mengikutinya ke suatu tempat. Di sana, terlihat sosok Simatupang yang sedang mengepak koran lama yang ia ikat dengan tali rapia. Punggung tegapnya saja masih sama seperti dulu walaupun sudah kulihat uban di sekitar rambutnya.
Laki-laki botak itu menepuk pundakku lalu mendorongku pelan unuk maju. Kurasa dia ingin aku menghampiri Simatupang yang masih asik mengepak koran.
Kulangkahkan kakiku untuk mendekatinya. Oh, lihatlah sosok yang kurindukan. Lihatlah sosok yang memiliki suara lantang yang selalu menawarkan koran setiap pagi di komplekku. Aku berdiri di sampingnya, tapi Simatupang masih belum menyadari kehadiranku.
Aku mengerutkan dahi saat Simatupang benar-benar tidak menyadari kehadiranku walaupun aku sudah berdiri tepat di hadapannya. Saat itu juga aku menyadari, kedua tangan Simatupang meraba-raba tali rapia untuk mengepak koran yang sudah ia susun dengan rapih. Koran lusuh yang mungkin masih terlihat indah di hatinya.
"Pak Simatupang."
Kuputuskan untuk menyamakan tinggiku dengan cara berjongkok di hadapannya. Simatupang menaikkan kepalanya seolah dapat melihat bahwa ada seorang perempuan yang memanggil namanya. Kupegang kedua pergelangan tangannya dengan erat. Ingin rasanya aku menangis saat aku melihat sepedanya yang dulu ia pakai untuk berjualan koran masih bertengger manis di samping rumahnya.
"Maaf, siapa ya?" tanya Simatupang dengan nada sedikit serak karena umurnya yang kian bertambah.
"Dina. Dina yang setiap hari beli majalah dan koran dari bapak." Air mataku lolos. Simatupang tersenyum lalu meraba wajahku dengan susah payah.
"Saya nyari-nyari bapak, tapi enggak pernah ketemu. Ternyata bapak di sini," ujarku menghapus kebisuan di antara kami.
Simatupang tersenyum, meraba tanah untuk mengambil tongkatnya lalu mengajakku berdiri. Ia membawaku menuju rumahnya dan mempersilahkanku untuk duduk di kursi kecil depan rumah Simatupang.
"Kamu mungkin sudah tau koran semakin sedikit peminatnya di komplekmu Din." Kata-kata Simatupang sukses membuat hatiku sakit. Aku bisa merasakan bahwa mata pencaharian Simatupang mungkin kembali merosot pada saat itu. Saat di mana penjual koran tak lagi dicari.
"Lalu kenapa bapak masih berjualan koran?" tanyaku sedikit penasaran.
"Walaupun koran sudah sedikit peminatnya dan sedikit sekali yang berlangganan koran, bapak akan tetap berjualan koran hingga akhir hayat bapak," jawab Simatupang dengan yakin.
Ia mengambil tumpukan koran yang memang bertumpuk di samping kursi yang ia duduki, lalu menaruhnya di atas paha.
"Kenapa?" tanyaku sekali lagi.
"Karena koran adalah saksi bisu perjalanan kehidupan bapak. Dari koran, bapak bisa menyekolahkan anak bapak. Dari koran juga, bapak bisa menghidupi keluarga bapak."
Simatupang mengelus koran yang ada dipangkuannya. Koran yang warnanya sudah memudar itu membuatku ingat akan hadirnya tukang koran yang bertebaran di mana-mana pada masanya. Aku tersenyum mendengar jawaban Simatupang. Kuraih satu koran yang kuyakini ada jiwaku di sana.
"Bapak enggak menyalahkan dunia yang mulai canggih ini. Hanya saja bapak harap, koran masih diterima oleh masyarakat. Hanya itu," ucap Simatupang.
Aku tersenyum sambil melihat koran yang tak asing lagi di mataku. Ya, itulah koran pertama yang kubeli dari Simatupang. Sekarang aku yakin, Simatupang sangat berterima kasih pada koran yang sudah menjadikan dirinya tetap hidup hingga sekarang.
"Kenapa anak laki-laki bapak tau nama saya pak?" tanyaku.
"Karena saya sering menceritakan Mbak Dina sebagai pelanggan pertama saya sama dia."
Perbincangan kami diakhiri dengan cerita masa lalu dan masa kini yang mengharuskan koran untuk berbagi ranah dengan gadget yang kian pesat, juga penjual koran yang mulai sulit ditemukan.
"Namun yakinlah bahwa koran tidak akan pernah mati." Ucapan Simatupang masih saja terngiang di telinga dan hatiku sampai saat ini
0 komentar:
Posting Komentar