Ijinkan Aku Wisuda
Subuh yang indah membangunkanku untuk segera mandi sehabis sholat subuh. Menyegarkan badan dengan guyuran air yang tidak begitu dingin.
Tak biasanya aku mandi subuh ketika sedang berlibur di kampung halamanku, Tangerang.
Ada alasan tersendiri aku memaksakan diriku untuk bangun dan bergegas memakai baju rapih setelah mandi. Kupilih setelan baju yang dirasa cocok untuk menghadiri hari paling spesial bagi teman kecilku. Ya, hari ini dia akan sah menjadi wisudawati lulusan Broadcast. Selamat.
Sekarang, tepat pukul 08.09 WIB, aku sedang duduk diam di lantai 13. Karena memang selain kedua orang tua, tamu yang lain di larang masuk ke ruangan tempat wisudawan dilantik. Tapi dari duduk diam ini, aku melihat betapa indahnya suasana di hari yang penuh kegembiraan ini.
Orang-orang dengan toga hitam berjalan ke sana kemari dengan keluarganya, beberapa tukang foto pun kucar-kacir mencari 'mangsa' untuk difoto, petugas yang juga sibuk menaruh benda ini dan itu, juga beberapa keluarga wisudawan yang duduk manis menunggu keluarganya di luar.
Dari duduk ini, aku melihat salah satu tukang foto. Dia pria yang rambutnya sudah tak hitam lagi. Bukan hanya rambut, janggutnya pun memutih. Perawakannya tidak terlalu tinggi, perutnya yang besar maju ke depan. Dia tidak seperti tukang foto keliling kebanyakan yang terkadang memaksa wisudawan untuk difoto.
Ya, untuk mencari nafkah memang tak semudah yang diharapkan. Tapi, begitulah kerjaan mereka.
Pria beruban itu hanya berjalan perlahan untuk mendekati 'mangsanya'. Dia juga tidak memaksa wisudawan untuk difoto. Dia sopan. Sangat sopan. Kebanyakan tukang foto tidak menunjukkan hasil jepretan dan editannya pada 'mangsanya', namun dia berbeda. Pria beruban itu menunjukkan hasil jepretannya yang sudah dicetak. Mungkin hanya sebagai bukti. Jika wisudawan yang ia tawari menggeleng, ia tidak akan memaksa wisudawan itu untuk difoto dengan kameranya.
Oh aku lupa. Dia juga memakai baju batik dan membawa ransel yang sudah tidak bagus lagi di pundaknya. Kulihat dia berjalan pelan ke sana kemari tepat di depanku. Tentu saja mencari wisudawan yang rela difoto olehnya.
Jika dilihat dari hukum alam, siapa yang kuat dialah yang menang, maka pria beruban itu kalah telak dengan tukang foto lainnya. Karena metode yang mereka pakai memang berbeda. Si pria beruban itu memakai metode halus nan lembut, sedangkan yang lainnya tidak.
Tapi sekali lagi, mencari nafkah itu tidak mudah.
Itu salah satu kisah pria beruban.
Bukan hanya itu suasana mengharu biru di hari bahagia ini. Karena aku sadar, setiap orang tua pasti akan hadir di acara wisuda anaknya.
Kutengok sebelah kananku. Ada eskalator di sana. Hadirlah seorang pria bertoga hitam menuntun sang ayah.
"Pelan-pelan pak. Satu, dua, tiga. Loncat," ucapnya. Itu terdengar jelas di telingaku.
Kulihat sang ayah yang sudah tak sehat lagi di bagian kakinya. Sandal jepit swallow yang dipakai sang juga menambah kesan bahwa kakinya benar-benar sakit. Dengan langkah kaki yang sudah tak baik lagi, anaknya menuntun sang ayah dengan hati-hati.
Apa yang kulakukan saat itu? Aku tersenyum. Aku yakin, seberapa parahnya sakit yang diderita, jika itu adalah hari wisuda anaknya, ia akan datang.
Bukan hanya ayah atau ibu yang sedang sakit, orang tua yang sudah bercerai pun bisa hadir dalam satu waktu dan di tempat yang sama. Tujuannya? Mereka akan menghilangkan ego mereka terlebih dahulu untuk kebahagiaan anaknya.
"Kapan aku wisuda?"
"Kapan mama sama bapak bisa ngeliat aku pakai toga?"
"Kapan aku bisa ngerasain indahnya suasana wisuda?"
Terakhir, aku berdoa.
"Ya Allah, ridhoi aku untuk wisuda tahun ini."
(Jakarta, 08.28 WIB)
0 komentar:
Posting Komentar