Aku mengutak-atik ponsel baruku. Betapa canggihnya, betapa beningnya, betapa mulusnya. Semuanya terkumpul dalam balutan kata bernama teknologi modern.
Sebelumnya kubuka beberapa situs berita online yang menurutku dapat menggugah selera bacaku, berita hangat saat ini. Kuusap layar ponsel menggunakan jempol. Beberapa berita mulai terlihat. Masalah negara, bakal calon gubernur, pejabat yang harus memiliki media sosial, sampai akhirnya aku menemukan judul yang begitu menarik, kurasa. Mungkin karena pembaca lebih banyak membaca berita itu. Soal polisi ganteng. Kubaca sampai akhir. Kupikir seharusnya ini masalah terorisme, namun nyatanya beralih fungsi isu yang ada.
Bukan soal polisi, sebelumnya aku membaca tabloid kampusku yang juga membicarakan tentang berita yang sudah keluar dari jalur, sedikit tak berlkualitas. Kupikir itu memang benar. Media elektronik semakin maju. Sebagian teman-temanku pun berkata, tidak dapat dipungkiri bahwa media elektronik sudah semakin digandrungi banyak orang dari berbagai kalangan. Semua berita bahkan dapat diakses dengan mudahnya. Tak terkecuali berita hoax (Huk - red). Dengan gamblangnya berbagai fenomena yang terjadi saat ini sudah mengubah daya pikir media itu sendiri. Bad news is a good news, kutipan itu bahkan sudah tidak dihiraukan. Saat ini, berita yang bagus adalah berita yang membuat sensasi panas para pembaca.
Bukan lagi masalah Indonesia, bukan lagi masalah kurangnya pendidikan, bukan lagi masalah korupsi, dan masih banyak lagi kata bukan.
Kubaca kembali sebelum akhirnya aku mengusap layar ponselku. Bukan hanya polisi ganteng, ada juga beberapa foto selfie di tempat kejadian, atau beberapa designer yang mengatakan style polisi ganteng itu sangatlah bagus, bak model. Semua itu ada dalam berita harian online. Tragis memang jika dilihat dari unsur berita yang mulai tidak berkualitas itu. Entah untuk pengalihan isu terorisme atau bukan, sebaiknya berita yang disajikan tidak keluar dari jalur yang semestinya.
Aku menggeleng dan bergumam, bukan tidak boleh, hanya saja jika masyarakat terus diberi sensasi maka dampaknya akan kembali pada unsur berita dan media, akan hilang elemen jurnalistik yang ada. Kebohongan atau tidak, semua akan disebar luaskan dengan mudah.
Perkara media sensasional ini menjadi diskusi menarik di era modern seperti sekarang. Setelah kupikir, mungkin karena belum adanya kode etik media online yang benar-benar signifikan membuat semua media sosial bebas untuk menyiarkan apapun. Termasuk judul berita yang cklick byte (judul yang menggugah pembaca untuk membuka situsnya). Dosenku pernah memaparkan, di Amerika sudah ada gerakan anti click byte. Sedangkan di Indonesia, click byte sudah mewabah dan menjadi acuan untuk menguntungkan media tersebut. Banyaknya penayangan dan tingginya rating akan membuat media tersebut menjadi dikenal dan menguntungkan. Itulah sebabnya click byte sangat digemari oleh beberapa media online.
Ah, kenapa penjelasanku semakin panjang seperti ini?
Ya tidak apalah. Toh ini memang ranah media sosial, terlalu banyak untuk diulik.
Kembali kubaca tabloid kampusku. Masih dalam judul dan rubrik yang sama. Lalu aku berpikir, ya, aku hidup di zaman serba canggih dan mudah.
Aku salah seorang manusia yang sempat tergila-gila dengan rating. Namun, lama kelamaan akhirnya mikir juga. Untuk apa rating website tinggi kalo kontennya tak berisi.
BalasHapusMenurutku klik bait itu penting jika memang isi bacaannya itu penting. Bayangkan kalo sebuah artikel yang memuat info penting atau pengetahuan penting tetapi sama sekali tidak tersentuh oleh audiensnya, kan sayang. Jadi tidak seluruhnya umpan klik itu negatif. Yang negagif itu di mana judul dan isi sangat tidak berkaitan.
Kalau pendapat ku, click bait itu tidak buruk-buruk amat. Asal isi dan link yang disebar itu berkaitan. Kebanyakan kan judulnya apa isinya apa. Siapa sih makhluk yang senang ditipu~
BalasHapus