Selasa, 14 Juni 2016

Cerpenku Dimuat di Pikiran Rakyat

Selamat siang, lama tak jumpa.

Untuk hari ini, aku akan menceritakan kisah tentang Cerpenku yang dimuat di koran Pikiran Rakyat edisi 12 Juni 2016.

Waktu itu bertepatan tanggal 12 Juni 2016. Aku sedang menyetrika pakaianku, kalau tidak salah sekitar pukul 10.30 WIB. Kagetnya aku, tiba-tiba ada salah satu teman kampusku, walau beda kelas, follow instagramku.

Well, itu cukup aneh karena aku memang tidak dekat dengannya, aku tidak pernah bertegur sapa dengannya. Kurasa cukup jadi teman satu angkatan yang tidak pernah saling berbicara itu sesuatu yang aneh jika dia tiba-tiba mem-follow akun instagramku.

Klingklung, satu suara membuktikan bahwa itu tanda ada message masuk di instagram.

"Ini Hani kelas B bukan?" tanya temanku itu.

"Iya, kenapa Zar?"

Hei, walaupun aku tidak dekat dengannya, aku masih punya hati dengan mengetahui nama teman angkatanku sendiri.

"Kamu orang Bandung bukan?" tanyanya lagi.

"Bukan. Aku orang Tangerang," jawabku dalam pesan singkat di instagram.

"Oh, berarti ini yang kamu ya?"

Dia mengirim foto koran Pikiran Rakyat edisi hari itu yang terpampang Cerpenku di sana. Cerpen berjudul Dunia Hitam Putih, oleh : Hani Widiani.

Aku langsung menjawabnya dengan kata iya, lalu menghentikan aktifitasku menyetrika pakaianku. Aku langsung duduk di kursi dan membalas pesannya.

Kalau tidak salah, aku mengirim Cerpen itu ke Pikiran Rakyat sekitar empat atau tiga bulan lalu. Kupikir Cerpenku tidak akan dimuat karena yang kutahu batas dimuatnya suatu karya di koran itu hanya dua bulan. Jika tidak ada, maka karya itu tidak diterima oleh redakasi. Hei, namun nyatanya setelah empat bulan lamanya, Cerpenku dimuat juga.

Empat bulan lalu aku diberi tugas oleh dosen mata kuliah Menulis Kreatifku untuk membuat cerita fiksi.  Aku akui, aku sangat menyukai mata kuliah tersebut walau hanya 0 SKS saja Ya, bisa kubilang di kelas itulah aku bisa menulis Cerpen semauku, tidak lagi menulis berita. Toh untuk UAS saja dosen itu menyuruh kami untuk membuat karya tulis apapun, kecuali puisi.

Malamnya aku berpikir, apa yang harus kuceritakan?

Memang aneh, tapi saat aku menulis sesuatu, aku akan memulainya dengan pembukaan apapun yang ada di otakku. Untuk jalan cerita dan akhir cerita, itu urusan nanti.

Mulailah aku mengetik sesuatu yang ada di otakku. Tanah berguncang, kesopanan, gadget, korupsi, dunia khayalan. Just it.

Awalnya selain buat tugas, aku berencana iseng untuk mengirim Cerpen itu ke Tempo. Kupikir Cerpenku pasti akan diterima oleh Tempo. Itu pasti. Namun nyatanya sampai sebulan  Cerpen itu tidak pernah dimuat di koran Tempo.

Saat itu temanku bilang,"Jangan berharap deh bakal diterbitin di Tempo kalau  Cerpen kamu aja belum bisa naik ke Pikiran Rakyat.

Well, sebenarnya kata-kata itu membuatku pesimis. Tapi dari sana aku kembali mencoba mengirim Cerpenku ke Pikiran Rakyat. Aku hanya ingin memberitahu pembaca tentang keresahanku menghadapi kehidupan di jaman ini.

Cerpen Dunia Hitam Putih itu menceritakan tentang seorang anak perempuan yang ada di zona lain, zona berwarna hitam putih. Zona yang berbeda dari zona kehidupan nyatanya. Di sana ia melihat banyak sekali orang bermasker yang sudah tidak lagi bertegur sapa dan tidak peduli, nenek renta yang sengaja diinjak kakinya karena menghalangi jalannya saat seseorang bermain gadget, juga para pemimpin yang sudah mengabaikan kehidupan malang rakyatnya.

Jadi intinya, zona itu adalah zona keresahan perempuan tersebut akan kehidupannya di masa yang akan datang. Hanya saja aku menggunakan bahasa kiasan untuk menggambarkan kehidupan di zona hitam putih itu.

Ya, begitu mungkin cerita singkat dari Cerpen Dunia hitam Putih.

Mari kulanjutkan.

Hampir dua bulan lebih aku menunggu dan membeli koran Pikiran Rakyat, tak ada satu pun edisi yang memuat Cerpenku. Dari sana aku mulai menyerah dan tidak lagi menunggu hasilnya. Bahkan selama berbulan-bulan aku sudah lupa kalau aku mengirim Cerpen ke koran PR.

Kembali ke cerita awal.

Tidak berpikir lama, aku langsung mengeluarkan motor dan helmku untuk pergi berburu koran. Aku sedikit kecewa karena di sekitar perumahanku, Binong, tak ada lagi yang menjual koran. Jadi aku harus pergi ke Harapan Kita (Harkit) untuk membeli koran. Perjalanannya sekitar sejam lebih bolak- balik. Miris? Ya.

"Padahal udah hampir tiga bulan lebih Hani ngirim Cerpen ini ke PR," ucapku pada mama saat aku sudah berhasil menggenggam koran edisi 12 Juni 2016.

"Mana sini mama mau baca."

Senang rasanya saat kedua orang tuaku membaca hasil karyaku.  Kalau bapak, berhubung ia baru pulang dari Tasikmalaya sekitar jam delapan malam, jadi bapak baru bisa membacanya di malam hari.

"Nanti bapak laminating."

Aku tersenyum mendengar ucapannya.

Hei, karya sekecil apapun, jika itu membuat hatimu dan orang tuamu bahagia, itu tak masalah.


Share:

1 komentar:

  1. mau tanya, kalo cerpennya dimuat, apa ada pemberitahuan dari pihak koran?

    BalasHapus