Malam itu, tanggal 29 Juni aku dan ketiga temanku berencana liburan ke Bandung untuk melepas penat. Aku yang saat itu juga masih job training memutuskan untuk ikut berlibur. Tenang saja, kami memutuskan untuk pergi sabtu malam. Sebenarnya sabtu minggu pun aku tidak libur. Setiap aku bertanya pada rekan kerjaku : "Kak, sabtu minggu ada libur gak sih?"
Mereka akan menjawab, "Wartawan mah ga ada liburnya Han."
Oke, fine.
Kulupakan sejenak pekerjaanku dalam mencari berita, lalu melanjutkan perbincangan kami.
"Gue ga tau daerah Pangalengan," ujarku sambil memasukkan pisang goreng ke mulut.
Karena lingkunganku memakai bahasa gue-loe, maka dalam percakapan ceritaku pun ikut seperti itu. Bahkan aku pun berbicara dengan nada sedikit logat betawi di rumah. Temanku pernah berkata, "Han, logat kamu tuh kaya lebih ke Betawi. Padahal Tangerang tuh bukannya Banten ya?"
Ya. Tangerang itu masuk ke Banten yang artinya orang akan mengira aku bisa berbahasa sunda. Namun nyatanya di komplekku orang sunda hanya sedikit. Samping kanan rumahku, mereka keluarga Palembang Betawi. Sedangkan sebelah kiri, mereka keluarga Jawa. Dan sejak kecil, aku memang sudah terbiasa dengan percakapan gue-loe. Jadi tidak heran jika aku memanggil seseorang yang umurnya lebih tua dariku setahun atau dua tahun, hanya memanggil namanya saja tanpa embel-embel Kakak atau Abang di depannya.
Sekian informasi tentang cara bicaraku. Mari kulanjutkan.
"Gimana sih lu Kunil, kuliah di Bandung tapi masih ga tau jalan." Gaga, teman laki-lakiku. Kunil, itu nama panggilanku di rumah.
"Ya lu kira gue harus muterin Bandung sampe ke ujungnya gitu?" Aku masih segiap dengan pisang gorengku.
"Yaelah. Gue ga mau ya kalo nantinya kita jadi pergi, tapi nyampe sana masih bingung juga mau ke mana nantinya." Gaga memakan martabak panas yang baru saja ia beli.
"Kita ke Pulau Oar aja yu. Gila ini bagus banget pulaunya." Emput berteriak sambil menunjukkan foto Pulau Oar pada kami.
"Sugep ga tuh pulau? Ntar nyampe sana kaga sugep lagi!"
Sugep : Bagus atau enak. Bahasa Gaga yang terkadang aku dan Emput harus bertanya apa maksud dari perkataannya.
"Sugep lah liat aja nih di instagram," ujar Laras.
Well, begitulah awal perbincangan kami yang serba mendadak. Malam itu kami berunding, Minggu pagi, sekitar jam 6 pagi kami tancap gas ke Pulau Oar yang ada di daerah Sumur, Pandeglang. Trek jalan ke Pulau Oar naik turun dan sedikit menyempi, juga sedikitnya mobil motor yang melaju ke sana. Jadi tetap waspada.
Lima jam sudah kami duduk di dalam mobil. Karena Laras memutuskan untuk tidak jadi ikut, akhirnya Gaga mengajak Yovi dan Jadun (sapaan akrab mereka) untuk pergi. Sebelumnya, aku membawa uang 400rb utuk trip ini.
Sampai di sana, kami diharuskan memesan sampan sebagai transportasi penyeberangan di sana. Selain sampan, ada boat juga jika kalian ingin perjalanan lebih cepat. Naik sampan ke Pulau Oar hanya merogoh kocek 250rb. Menurutku itu cukup murah, apalagi jika kalian pergi bersama keluarga atau teman-teman kalian.
Penduduknya ramah, air laut yang masih biru jernih, aroma perkampungan yang masih kental juga menambahkan kesan indah dalam liburanku kali ini.
Oh iya, mau selama apapun kalian di sana, harga tetap 250rb bolak-balik. Murah. Tapi jangan salah, jika kalian ingin duduk-duduk untuk beristirahat di saung Pulau Oar, kalian harus mengeluarkan uang lagi sebesar 100rb. Di sana juga tidak ada penginapan ataupun pedagang selain pedabang kepalap muda.
"Ya udahlah, daripada bayar mending kita di sini aje."
Kami memutuskan untuk menaruh barang di bebatuan.
Karang, ombak, air jernih, pasir putih. Pesona yang ditawarkan Pulau Oar sangat menakjubkan. Dan kalian tau? Di Pulau Oar saat itu hanya ada kami berlima juga mamang sampan dua orang. Ya mungkin lagi bulan ramadhan, siapa juga yang ingin ke Pulau Oar di siang bolong?
0 komentar:
Posting Komentar