Rabu, 23 November 2016

Dibalik Demo 411 (part 2)



"Pasti itu. Makanya semua umat Islam saling menjaga dan memberitahu agar jangan terprovokasi dengan pemberitaan atau pembicaraan apapun," jawab bapak.

Kuberdoa kembali, semoga dalam aksi 411 ini ada hikmah di dalamnya. Semua kejadian pasti memiliki hikmah di balik itu semua. Kejadi Gubernur DKI yang menjadi terdakwa penistaan agama itu  menurutku punya hikmah di dalamnya.

Aku yang sebelumnya tidak tahu arti surat Al-Maidah ayat 51, kini aku kembali membuka quran dan membaca dengan khidmat beserta artinya. Bukan hanya ayat 51, tetapi juga ayat 52 sebagai penyambung ayat sebelumnya.

Sesampainya di Bandung, pukul 09.00 WIB, aku menyempatkan diriku untuk membeli kuota. Semata-mata hanya ingin tahu bagaiman jalannya aksi demo  dan bagaimana media menyikapi hal tersebut. Bukan hanya media, tapi semua orang yang ada di dunia.

"Di, kamu setuju tidak sih adanya demo ini?" tanya sahabatku, Gina, saat aku sudah kembali ke kosan tercintaku di Bundaran Cibiru, Bandung.

"Gin, aku tidak tahu apakah demo ini benar di mata Allah. Tapi aku cukup myakini dan beroda, semoga para demonstran itu memiliki niat yang baik dalam aksi demo ini."

Dia mengangguk. Aku memasang kartu kuotaku dan segera membuka facebook.

Ya, mengingat saat ini facebook bisa siaran langsung. Untukku yang tidak memiliki televisi di kosan, bisa menggunakan  facecook sebagai alat agar aku kekinian dalam hal berita.

Bertebaran berita tentang umat islam yang sudah mneunggu di beberapa titik tempat kumpul, terutama Masjid Istiqlal. Melihat fotonya saja sudah cukup membuatku merinding dan terharu. Setahuku, demostran yang datang dari luar kota sudah datang sejak malam tadi, karena demo akan dilaksanakan setelah sholat jum'at.

"Ya ampun, merinding gini bulu kudukku Di." Gina menyodorkan tangan kanannya padaku. Jangankan dia, aku saja yang sejak tadi menunggu jam 12.00 tiba, sudah merinding duluan melihat berita ini itu di media sosial.

Sejak tadi aku terus melihat jam tanganku.

"Kapan jam 12 tiba?"  Itu yang kutanyakan sejak tadi.

Aku melihat berita bahwa umat islam dan beberapa kepolisian sedang melaksanakan sholat jumat berjamaah. Tapi di sisi lain, aku melihat komentar pedas tentang mereka yang mempertanyakan :

"Mereka sholat jumat tidak tuh?"

"Mengaku islam, tapi tak sholat jumat."

Dan masih banyak lagi komentar pedas lainnya yang kutemui di media sosial, khsususnya facebook.

Sungguh, aku, Diana, bukan manusia yang hafal semua juz Al-quan, bukan penafsir hadits, bukan ulama terkenal yang diayaomi banyak masyarakat, bukan juga manusia yang memiliki semangat tinggi untuk terjun langsung mengikuti  aksi demo 411.

Tapi mendengar komentar pedas seperti itu, hatiku sakit.  Saat itu aku tahu dan harus mempersiapkan hatiku untuk mendapatkan komentar-komentar pedas dari orang lain yang menolak aksi demo 4 November ini.

"Gin, Allah itu memang mengajarkan kita untuk saling menghormati, saling menghargai dan saling menjaga satu sama lain. Tapi dengan adanya kisah ini, Allah mungkin sedang membukakan mata umat islam untuk kembali mengkaji Al-Maidah ayat 51. Benar?" tanyaku pada Gina yang masih duduk di sampingku.

Ngomong-ngomong, kami dari satu organisasi yang sama.

"Iya Di. Rasul juga mengajarkan kita untuk saling memaafkan, untuk tersenyum bila digunjing. Tapi tidak jika agamanya dihina sperti ini. Tapi, bukankah ada dalang dibalik video penistaan agama yang beredar itu?"

"Ada. Tapi, adanya kata pakai atau tidak, umat islam tidaklah bodoh untuk dapat menafsirkan ucapannya."

Setelah sholat dzuhur, aku kembali membuka tabku untuk melihat sejauh mana berita yang tayang. Detik itu juga, aku menangis. Gina yang melihtaku menangis hanya mengusap pundakku, karena aku dan dia ada dalam satu rasa yang sama.

"Indah sekali mendengar polisi melantunkan Asmaul Husna begini. Indah sekali melihat polwan memakai kerudung. Indah sekali melihat semua organisasi masyarakat bersatu," ucapku ditengah isakan tangisku.

"Iya Di. Kalau sebelumnya Nahdatul Ulama, Persatuan sialm, Muhammadiyyah, Hizbut Tahir, dan semua oganisasi masyrakat selalu berdebat karena keyakinannya masing-masing, sekarang mereka bersatu utuk membela agama mereka. Jika kita bertanya pada preman sekalipun, mereka pasti tidak akan senang jika agamnya dihina."

Gina menambahkan ucapanku. Aku mengangguk. Ini pertama kalinya air mataku tak berhenti mengalir melihat berita fenomenal seperti ini.

Banyak oang yang pro dan kontra akan aksi ini. Namun, aku menjadikan aksi demo ini sebagai sesuatu yang indah. Aku melihat dari sisi positifnya.

Aku tak perduli dengan orang-orang yang melemparkan kata kasar atau ginjingan jahat pada demonstran. Aku hanya meyakini, akan ada hikmah dibalik ini semua.

Aku membaca satu berita yang kembali membuat air mataku jatuh. Berita tentang bersatunya demonstran dan para polisi dalam menyikapi aksi demo damai ini.

"Bagus yah kalau Indonesia begini. Kenapa tidak dari dulu saja polisi menyikapi aksi demo masyarakat dengan cara persuasive. Ku pikir ini lebih aman."

Gina mengusap layar tabku untuk membaca berita selanjutnya.

Aku cukup kaget ketika melihat video yang baru diunggah dan beredar dengan cepat. Sebuah van salah satu media televisi diusir langsungoleh demonstran.

Aku mendengar teriakan, "Pak polisi, anda bukan musuh kami" dan "Berita yang tidak credible terhadap Islam, untuk apa ada di sini?!"

Aku hanya tersenyum menanggapi teriakan dalam video tersebut.

"Apa video ini bisa disebut sebagai hikmah juga Gin?" tanyaku seidkit nyinyir.

"Bisa. Bukankah berita itu seharusnya tidak memihak siapapun?"

"Ya."  Kami tertawa  sebelum melanjutkan kembali menonton berita siaran langsung melalui facebook.

Sejauh ini, aksi demo 411 itu berjalan lancar. Sudah kubilang, selama aku menonton siaran langsung ini, aku selalu berdoa semoga tidak ada keributan nantinya. Walaupun memang perasaan tidak enak mulai menghampiriku.

Massa sebanyak itu tidak mungkin tidak ada kerusuhan dibaliknya, pasti akan ada dalang dibalik kerusuhan nantinya. Lafadz Allah dan beberapa kalimat islami keluar dari demostran saat mengeluarkan aspirasinya. Bukankah kita hidup di Negara demokrasi?

Aku kembali mengingat pembicaraanku dengan bapak. Saat itu bapak sedang makan jeruk sebagai asupan gizinya.

"Salah tidak sih Pak kalau demo begini? Rasul kan mnegajarkan kita untuk berbicara secara baik-baik," tanyaku.

"Di, kalau dipikir-pikir, umat islam sudah cukup sabar loh menanggapi masalah ini."

"Kenapa?"

"Berita ini sudah ada sejak September loh. Tapi karena sikap sikap aparat yang di atas itu tidak tegas, akhirnya umat islam harus turun tangan di bulan November ini. Coba, berapa bulan kita bertahan?"

"Dua bulan lebih?"

Bapak mengangguk dan kembali mekakan jeruknya dengan tenang.

Hari mulai sore dan langit Bandung mulai mendung. Salah satu guruku yang mengikuti aksi demo itu memposting fotonya bersama demonstran lain, dengan status :  Mohon doanya, sebagian kawan-kawan terjebak tak bergerak, tertahan, namun demikian Alhamdulillah…cuaca Jakarta berubah sejuk dan teduh.

Aku kembali tersenyum, ini adalah jalan untuk mereka. Semua yang kupikirkan saat itu berbuah positif.

Tak ada kekesalan dan pertanyaan nyinyir seperti, untuk apa umat islam melakukan aksi tak berguna seperti itu? Seharusnya islam memaafkan saja, toh Gubernur DKI itu juga sudah meminta maaf, dan perkataan lainnya yang sifatnya menyinggung aksi demo 411.

Aku menonton berita siaran langusng yng masih memberitakan tentang demonstran yang masih menyusul teman-teman lainnya yang sudah beada di depan istana sejak tadi.

Lautan manusia serba putih, langit biru nan indah melindungi mereka, kebersihan tak mereka lupakan. Aku berkata dalam hati, this is how islam is.

Aku menghentikan aktifitasku selama beberapa jam karena aku harus rapat hingga malam hari. Selama berita ini aik-baik saja, selama demonstran baik-baik saja, aku pun akan baik-baik saja. Pukul 22.00 WIB, setelah aku merebahkan diri di atas kasur, aku kembali membuka tabku. Berita bertebaran ddan saling menyalahkan.

"Ya Allah, kerusuhan ini benar-benar terjadi," ucapku dalam hati.

Aku menarik napas dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. Meredam emosiku akan banyaknya berita yang tidak tahu benar atau tidak. Aku hanya mengikuti aksi demo ini melalui media massa dan sosial.

Aku yang tidak terjun langsung dalam aksi demo, mana mungkin aku langsung berspekulasi bahwa isla yang salah, aparat kepolisian yang salah, ataupun pihak media yang salah dalam pemberitaannya.

"Lagian, suruh siapa demo sampai melampaui batas. Itu melanggar aturan namanya," ujar salah satu temanku di grup Line. Tapi temanku yang lain, yang ikut langsung dalam aksi demo menjawab, "Itu karena kami menunggu hasil yang di dalam istana."

Aku juga mendapat berita bahwa ada beberapa orang yang terkena gas air mata yang disemprotkan oleh aparat yang berwenang memegang gas air mata tersebut. Namun sekali lagi, aku tidak ada dalam kerumunan aksi tersebut, maka aku tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Melihat banyak media yang menyudutkan islam, aku sedih. Melihat orang islam yang tidak begitu pro dengan aksi demo, malah menyudutkan saudara seimannya di beberapa media sosial. Jika aku jadi mereka, aku akan tetap mendoakan semoga aski demo ini adalah aksi yang baik di mata Allah.

"Wajar banyak yang pro dan kontra akan hal ini. Toh kebenaran hakiki hanya miilik Allah. Ingat, yang bisa menggerakkan massa sebanyak itu hanya Allah. Itu yang kami yakini selama kami berdemo," ujar temamku yang tadi membalas Line.

Aku mengangguk. Banyak manipulasi berita, banyak orang-orang yang menyudutkan demostran, banyak orang-orang yang membela bahwa dirinya benar. Sampai akhirnya aku memilih untuk sms bapak yang sudah ada di rumah.

"Pak, nanti kalau ada aksi demo lagi, jangan lupa suruh teman-teman bapak bawa kamera. Biar semua kejadian tertangkap jelas. Jangan lupa, semua yang bawa kamera itu ditaruh di depan, tengah dan belakang."

Aku tidak menyalahkan mereka yang kontra, hanya saja aku menyangkan presidenku tak ada di saat rakyat membutuhkannya.

Untuk agenda presidenku, aku tidak tahu apakah bandara lebih penting daripada rakyatnya.




Share:

0 komentar:

Posting Komentar