Rabu, 07 Maret 2018

Coffee Latte (1)


Aku meminum kopi latte hangat. Orang bilang, jika aku suka meminum kopi latte, aku akan merasa diriku adalah orang paling menderita di dunia. Ini manis, tapi membuatku frustasi.


Bandung, 11 Mei 2017

Aku mendekam di dalam kosanku yang tidak terlalu besar namun panas. Aku mengusap keringatku dengan perlahan lalu membuka tab Samsung milikku. Sekadar memantau apa yang sedang menjadi perbincangan hangat di sosial media, terutama Instagram. Hei, ada pesan masuk.

"Mohon maaf, kalau boleh tanya. Apakah ilustrasi yang ada di IG Anda, Anda yang buat?"

Belum sempat kubalas, pesan selanjutnya muncul dari si pengirim yang belum kukenal sebelumnya.

"Oh maaf saya baru liat. Memang itu ilustrasi yang Anda buat. Semoga lain kali kita bisa bekerja sama."

Aku tak  tahu siapa dia. Kusempatkan membalas pesan dia dengan "Aamiin." saja, lalu kembali melanjutkn aktifitasku yang sempat tertunda.

Aku tidak pernah berpikir sebelumnya bahwa keajaiban akan muncul setelah pesan itu datang. Pesan dari si pengirim asing yang tidak kugubris sama sekali. Aku hanya iseng membuka instagramnya dan melihat-lihat fotonya. Tidak ada yang istimewa.Setelah itu aku keluar dari instagram dan kembali menonton drama korea dengan temanku.

Bandung, 16 Mei 2017

Aku, perempuan penyendiri yang susah untuk keluar kosan. Bagiku kosan kecil nan panas ini sudah menjadi tempat ternyaman di Bandung. Aku menghabiskan waktuku di sana. Tak peduli apakah aku kenal dengan teman kosanku atau tidak, aku cukup  nyaman dengan kehidupanku yang kala itu hanya bergelut dengan skripsi dan order gambar. Oh, saat itu skripsi menjadi salah satu benda yang membuatku selalu ingin membantingnya. Aku tidak kuat.

Tring. 

Oh, ada pesan datang di Instagram.

"Assalamualaikum Hon.
Saya punya teman editor di sebuah penerbitan.
Mereka sepertinya tertarik dengan karya-karyamu.

Btw, sekarang kamu sedang TA ya? Kalau boleh tahu
TA-nya tentang apa? Siapa tahu bisa diterbitkan.
Dan bolehkah saya minta kontakmu? 
Terima kasih  sebelumnya."

Aku terdiam. Tidak kubalas pesannya selama beberapa detik. Aku hanya berpikir bahwa apakah ini nyata? Hei, ada satu penerbit yang suka dengan karyaku!

Aku memberikan tabku pada temanku yang kebetulan sedang main di kosanku. Kulihat dia membuka matanya lebar-lebar. Ya, dia tahu keinginanku, dia tahu apa yang sedang kuharapkan, dan dia tahu apa yang sedang kucita-citakan. Dia bilang ini kesempatakanku. Dia pun menyuruhku untuk cepat membalas pesannya.

Aku pun membalas pesannya.

"Waalaikumsallam. 
Maaf baru balas kak. 

Iya ini saya lagi TA. Karena aku jurnalistik,
TA aku judulnya Kebijakan Redaksi pada 
Kanal Seni dan Budaya. Berhubungan sama
keredaksian di salah satu media online. 

Penerbit mana ya kak?

Wah ... alhamdulillah kalo mereka
suka sama karyaku."

 
Aku memberi dia kontakku agar kami bisa dengan santai berkenalan dan membicarakan apa yang dia inginkan dari karyaku. Dia, si pengirim itu mengirim pesan via WhatsApp. Jika berkenan, aku disuruh datang ke Jakarta untuk ikut rapat editor. Kamu tahu? Aku bahagia dengan ajakannya. Aku tidak pernah berpikir negatif tentang si pengirim itu. Aku bahkan tidak pernah berpikir bahwa dia orang jahat yang sedang modus untuk menipuku. Entah kenapa.

Jakarta, 2017

Aku bahagia. Sangat bahagia. Saat itu aku pikir, apa ini jalan yang sudah Allah bukakan untukku?

"Hon, aku mau ngajak kamu buat bikin buku. Aku udah lihat instagram kamu dan lucu-lucu banget gambarnya."

Loh? Aku kira aku hanya akan menjadi ilustrator untuk penulis saja. Ternyata aku diajak untuk menjadi seorang penulis di penerbit besar ini.

"Nah, nanti kita bikin satu tema buat buku kamu dengan memakai tokoh kartun kamu yang ada di instagram itu. Siapa namanya? Honhon dan Damar?"

"Iya," jawabku singkat. Saat itu aku masih malu dan merasa belum pantas untuk masuk ke penerbit besar seperti ini.

Jika orang berpikir, enak sekali rasanya perempuan biasa sepertiku tidak perlu bersusah payah mengirim naskah untuk menerbitkan suatu buku, maka jawaban mereka salah. Aku selalu dihantui rasa bersalah dan kecemasan jika buku yang kuterbitkan tidak laku. Bagaimana jika mereka kecewa dengan hasilnya, bagaimana jika karyaku tidak seperti yang mereka inginkan, bagaimana jika mereka menaruh harapan besar padaku namun semuanya akan sia-sia? Bagimana?

Itu yang kupikirkan. Ketakutan-ketakutan itu yang membuatku frustasi.

Aku menjadi sosok yang berambisi ketika aku memulai hidupku yang baru sebagai seorang penulis pemula. Aku menghabiskan waktuku untuk menggambar, mencari ide, mengejar target dan  sibuk memikirkan apakah gambaranku sudah sesuai  atau belum. Sedikit demi sedikit aku sudah tidak peduli lagi dengan skripsiku. Aku lebih mementingkan karyaku ketimbang skripsiku. Sejenak aku melupakan beban skripsiku.


Menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan dua buku membuatku bahagia. Sangat bahagia. Rasanya seperti dilemparkan ke langit. Melambung tinggi ke atas saat karyaku dipuji oleh editorku. Hah... semoga karyaku menjanjikan. Aku akan sangat malu jika karyaku tidak seperti yang mereka harapkan.

"Hon, kita bakal PO 100 buku kamu. Semoga laku ya. Eh kayaknya bisa lebih nih. Apa lima ratus aja ya Hon?"

"Kalau laku kita nanti bakal cetak buku kamu yang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Kereeenn...."

Berhenti.

"Bener banget, nanti kita buat ide yang baru lagi buat buku kamu."

 Berhenti.

"Semoga ini kejual habis ya Hon. Hebat banget karya kamu. Lucu-lucu gitu. Pasti laku."

Aku mohon berhenti!

Aku mohon berhenti untuk menaruh harapan-harapan itu padaku. Aku tidak bisa menerima itu. Di satu sisi aku bahagia, tapi di satu sisi aku takut untuk menanggung semua beban itu. Aku takut. Aku hanya tersenyum mengangguk dan kembali takut. Aku tahu bahwa ini jalan yang sudah Allah berikan. Tapi entahlah. Aku bahagia dan frustasi dalam waktu yang bersamaan.

Desember, 2017

Dua bukuku sudah terbit. Aku  turut mempromosikan bukuku di instagram ataupun personal ke teman-temanku. Kamu pasti tahu rasanya cita-citamu tercapai dengan baik dan jalan yang tidak berliku. Oh kawan, itu menyenangkan.

Menyenangkan.

Oh, apakah semenyenangkan ini?

Sangat menyenangkan. Kamu harus merasakannya!

Menyenangkan.

Menyenangkan.

Menyenangkan.

Tidak.


Ini tidak lagi menyenangkan.

Jatuh.

Aku jatuh.

Aku frustasi.

Aku ... pesimis.


Ping.

 Aku membuka tabku. pesan via WhatsApp.

Aku terdiam. Ini ... ketakutanku ... menjadi kenyataan.

"Hon, penjualan buku kamu kurang bagus."


Lalu, waktu ini sekan kembali terulang.

"Hon, saya kenal kamu dari Anan. Kamu ... mau buat buku lagi?"

Aku diam. Sedikit takut untuk melangkah maju. Tapi....

"Jangan pesimis, Hon!"






Share:

2 komentar:

  1. tulisan dan gambarnya bagus, dan kenapa bisa nyasar ke sini, ahahaha, salam kenal

    BalasHapus